Dalam pembahasan nama dan sifat-sifat Allah, kelompok Salaf dan Mufawwidhah memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan nama dan sifat Allah. Berikut adalah penjelasan konsep berpikir masing-masing kelompok dan perbedaannya, serta pandangan mana yang lebih tepat dari dua konsep tersebut:
- Kelompok Salaf
Kelompok Salafiyyah (merujuk pada generasi awal umat Islam yaitu Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in) umumnya dikenal dengan pendekatan itsbat (menetapkan) sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, tanpa melakukan ta’wil (penafsiran metaforis), tahrif (penyelewengan makna), atau tasybih (penyerupaan dengan makhluk). Prinsip utama mereka adalah:
- Mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana adanya: Misalnya, ketika Allah menyebutkan bahwa Dia memiliki tangan (yad), mereka mengimaninya tanpa menggambarkan atau membayangkan bagaimana “tangan” tersebut, karena Allah berbeda dengan makhluk-Nya.
- Tidak menanyakan bagaimana (kaifiyyah): Mereka berhenti pada teks, tidak mencoba menjelaskan atau menggambarkan hakikat sifat-sifat Allah.
- Menjaga kesucian Allah dari penyerupaan: Mereka menekankan bahwa Allah “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”[1] (QS. Asy-Syura: 11).
Contoh: Jika Allah menyebutkan sifat “Istawa” (bersemayam) di atas Arsy, mereka menerima kata “istawa” sebagaimana adanya tanpa menjelaskan bagaimana proses atau detail maknanya lebih spesifik, tetapi dengan dua keyakinan utama bahwa Allah adalah Dzat Yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang Maha Sempurna, tidak ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya.
- Kelompok Mufawwidhah
Kelompok Mufawwidhah adalah bagian dari Ahlus Sunnah yang memilih untuk menyerahkan makna sifat-sifat Allah kepada Allah sendiri tanpa menetapkan makna literal atau melakukan interpretasi. Prinsip mereka meliputi:
- Tafwidh (penyerahan): Mereka tidak mencoba memahami atau menetapkan makna teks tertentu, seperti “yad” atau “istawa.” Mereka hanya mengimani bahwa sifat tersebut benar adanya sesuai dengan kebesaran Allah, tetapi maknanya diserahkan sepenuhnya kepada Allah.
- Menghindari penggambaran: Kelompok ini lebih berhati-hati dan memilih untuk tidak memahami teks secara harfiah agar tidak terjebak dalam tasybih (penyerupaan) atau tajsim (penjasmanian).
- Membatasi diskusi: Mereka cenderung membatasi diskusi sifat Allah karena menganggap itu adalah wilayah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah.
Contoh: Jika Allah menyebutkan sifat “Istawa” di atas Arsy, mereka menyerahkan maknanya kepada Allah tanpa menetapkan atau menafsirkan apakah itu bermakna literal, metaforis, atau lainnya.
Perbedaan Utama
Aspek | Kelompok Salaf | Kelompok Mufawwidh |
Pendekatan | Itsbat (menetapkan sifat) tanpa kaif (tanpa bertanya bagaimana) | Tafwidh (menyerahkan makna kepada Allah) |
Makna Literal | Mengimani secara literal, tetapi tanpa menyerupakan | Tidak menetapkan literal atau metaforis, menyerahkan makna |
Penafsiran | Tidak menafsirkan, tetapi menerima sebagaimana teks | Tidak menafsirkan atau menetapkan makna sama sekali |
Tujuan | Menjaga keimanan terhadap sifat Allah tanpa penyerupaan | Menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tanpa diskusi lanjut |
Kritik dan Tarjih
- Kritik terhadap Ketidakpahaman Makna dalam Tafwidh
Pemikiran tafwidh berimplikasi pada pengabaian makna literal firman Allah. Jika sifat-sifat Allah yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dianggap tidak dapat dipahami oleh manusia secara literal, maka ada beberapa masalah yang timbul:
- Kesesuaian Komunikasi Ilahi: Allah berfirman dalam bahasa yang jelas dan dapat dipahami oleh manusia (QS. Ibrahim: 4)[2]. Menganggap bahwa manusia tidak memahami makna literal dari sifat-sifat Allah bisa diartikan bahwa Allah menyampaikan sesuatu yang tidak relevan atau membingungkan hamba-Nya.
- Prinsip Kebahasaan: Dalam ilmu bahasa, pesan yang disampaikan harus memiliki makna yang jelas untuk mencapai tujuan komunikasi. Oleh karena itu, menganggap manusia tidak memahami sifat-sifat Allah secara literal bisa bertentangan dengan prinsip kebahasaan itu sendiri.
- Keagungan Allah: Allah adalah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Maka, mustahil bagi-Nya untuk menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dipahami makhluk.
Konsep tafwidh (menyerahkan makna sepenuhnya kepada Allah tanpa memahami maknanya secara literal) pada akhirnya justru dapat membuka celah penafsiran bahwa firman Allah tidak dimaksudkan untuk dipahami.
- Pemahaman tentang Zat dan Sifat Allah
Secara umum manusia dapat memahami makna dasar sifat-sifat Allah seperti “mendengar,” “melihat,” dan “istiwa'” tanpa menyamakannya dengan makhluk. Berikut penjelasannya:
- Makna Dasar vs. Hakikat: Dalam pendekatan Salaf, manusia memahami makna dasar (literal) dari sifat-sifat Allah, misalnya:
- “Mendengar” berarti kemampuan untuk menangkap suara.
- “Melihat” berarti kemampuan untuk menangkap objek dengan penglihatan.
- “Istiwa'” berarti bersemayam atau berada di atas. Namun, manusia tidak mengetahui hakikat sebenarnya dari sifat-sifat ini karena keterbatasan akal dan karena Allah “tidak serupa dengan makhluk” (QS. Asy-Syura: 11).
- Kesepakatan tentang Ketidakserupaan: Semua pihak sepakat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk. Oleh karena itu, memahami makna dasar sifat-sifat Allah tidak otomatis menyerupakan Allah dengan makhluk, sebagaimana manusia memahami makna “Allah mendengar” tanpa menyamakan pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk.
- Tafwidh dan Potensi Penyerupaan
Konsep tafwidh justru dapat berujung pada tasybih secara tidak sadar. Penjelasannya sebagai berikut:
- Dasar Pemikiran Tafwidh: Jika tafwidh berangkat dari kekhawatiran bahwa menetapkan sifat Allah seperti “istiwa'” atau “yad” akan menyerupakan Allah dengan makhluk, maka ada asumsi tersembunyi bahwa sifat Allah dan sifat makhluk memiliki keserupaan. Padahal, Allah telah menegaskan bahwa “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” (QS. Asy-Syura: 11).
- Konsistensi Salaf: Salaf konsisten dalam keyakinan bahwa Allah memiliki sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Mereka memahami makna dasar sifat-sifat Allah, tetapi menyerahkan detail hakikatnya kepada Allah (disebut sebagai tafwidh kaifiyyah, bukan tafwidh makna).
Kesimpulan Tarjih
Berdasarkan analisis ini, metode yang diambil oleh kelompok Salaf memiliki kelebihan dalam menjaga pemikiran dari hal-hal menyimpang tentang konsep ketuhanan:
- Pemahaman literal sifat-sifat Allah: Sesuai dengan teks Al-Qur’an dan Hadis, tanpa menyamakan dengan makhluk.
- Mensucikan Allah dari tasybih: Tetap menegaskan bahwa sifat-sifat Allah berbeda secara hakikat dengan sifat makhluk.
- Kejelasan komunikasi Ilahi: Mengakui bahwa Allah berbicara dalam bahasa yang dapat dipahami manusia, sehingga manusia tidak perlu menyerahkan seluruh makna kepada Allah.
Metode Salaf ini memberikan dasar yang kokoh untuk memahami sifat-sifat Allah dengan tetap menjaga prinsip Tauhid dan kesucian Allah dari segala bentuk penyerupaan.
Wallahu a’lam bi shawaab
______________________________________________
[1] Allah berfirman:
فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan (menjadikan pula) dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan(-nya). Dia menjadikanmu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
[2] Allah berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗفَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (karena kecenderungannya untuk sesat), dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”