Keunikan Bahasa Al-Quran:
Mengungkap Makna di Balik Kata “Dhiyza”

 

Al-Quran adalah kitab suci yang memiliki ketinggian bahasa yang tidak dapat ditandingi oleh makhluk mana pun. Dalam ilmu balaghah (disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang mempelajari keindahan bahasa dan cara menyampaikan pesan dengan efektif, tepat sasaran, dan sesuai dengan situasi dan kondis), terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sebuah kalimat dianggap sebagai pernyataan yang baliigh (fasih dan efektif). Salah satu syarat tersebut adalah penggunaan kata atau diksi yang mudah dipahami dan tidak asing.

Demikianlah Al-Quran, setiap kata yang termaktub di dalamnya adalah kata yang telah familiar di kalangan orang-orang pada masa itu, kecuali satu kata, yaitu “Dhiyza” dalam firman-Nya;

تِلْكَ اِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزٰى

“Tentulah Itu suatu pembagian yang aneh (tidak adil).” (An Najm; 22)

. Lantas, apa arti kata tersebut dan mengapa dipilih diksi yang tidak familiar ini dalam kitab suci Al-Quran?.

Jawaban dari pertanyaan ini terletak dalam tiga penggalan ayat sebelumnya:

أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ 19 وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ 20 أَلَكُمُ ٱلذَّكَرُ وَلَهُ ٱلۡأُنثَىٰ

“Apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (dua berhala) al-Lata dan al-‘Uzza, serta Manata (berhala) ketiga yang lain (sebagai anak-anak perempuan Allah yang kamu sembah)? Apakah (pantas) bagi kamu (anak) laki-laki dan bagi-Nya (anak) perempuan?” (Q.S. An-Najm: 19-21)

Pada masa itu, orang-orang Arab menganggap keberadaan anak perempuan sebagai kehinaan bagi keluarga. Namun, anehnya, mereka justru menasabkan anak perempuan yang mereka anggap hina sebagai anak Allah dan menyandarkan anak laki-laki kepada mereka. Allah mengungkapkan keanehan logika berpikir mereka melalui ayat selanjutnya:

تِلْكَ اِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزٰى

“Tentulah Itu suatu pembagian yang aneh (tidak adil).” (Q.S. An-Najm: 22)

Kata “Dhiyza” dalam ayat tersebut berarti aneh, dan kata itu sendiri termasuk kata yang aneh dan tidak familiar. Allah sengaja memilihnya -wallahu a’lam- untuk lebih mempertegas betapa anehnya logika berpikir orang-orang musyrik dengan pembagian yang mereka tetapkan tersebut.

Di era sekarang, fenomena cara berpikir demikian masih ada meski dengan tampilan yang berbeda. Manusia sering memilih yang terbaik untuk dirinya sendiri, namun memberikan yang minimal kepada Allah, meskipun hal itu sesungguhnya adalah kewajiban, dan bahkan adalah kebutuhannya sendiri. Fenomena ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita sebagai hamba yang menginginkan tempat terbaik di sisi Allah di hari yang maha abadi.

Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang keunikan bahasa Al-Quran dan menginspirasi kita untuk selalu memberikan yang terbaik kepada Allah.